MAKALAH
PARADIGMA DAKWAH PLURAL
DAN MULTI KULTURAL
Oleh:
SONIA SWASTIKA (153133039)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI MATARAM (IAIN)
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Puji syuku kehadirat
allah yang maha esa, yang telah memberikan nikmat kesempatan bagi kami
(penulis) sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang diberikan kepada kami
oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan, sehingga kami bisa menyeleseaikan
makalah ini tepat pada wahtunya.
Solawat dan salam
semoga selalu terlapaskan kepada junjungan kita rasulullah SAW, yang telah
menuntun para leluhur kita, juga sehingga kita mampu mengecam kenikmatan
melelui agama yang di sebarkannya (islam).
Kami juga mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun dari saudara (pembaca), demi
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Munculnya indikasi dan
keberagaman dan kesalahan sosial masyarat ahir-ahir ini ternyata juga
dikarenakan munculnya sesuatu yang tidak ideal dikalangan masyarakat. Dengan
melihat maraknya kesadaran dalam beribadah dan aktivitas rutinitas sviritual
semua ditingkat masyarakat, yaitu dengan menjamurnya masjid, bertambahnya minat
masyarakat untuk melakukan ibadah haji, semaraknya majlis dzikir dan majlis ta’lim,
meningkatnya siaran keagamaan melalui stasiun televisi dan redio serta
tumbuhnya institusi-nstitusi yang berlabel syari’ah, merupakan penomena yang
haarus direspon secara aktif dan posirif oleh para da’i.
Melihat fenomena yang
tidak ideal ini, dakwah, tidak hanya dilakukan secara sporadis dan dibiarkan
hanya sekedar tren, tetapi memerlukan
penataan dan pendekatan yang sistematik dan holistik guna mencapai tujuan
dakwah.
Mataram,
25. 03. 2013
Daftar
Isi
KATA PENGANTAR
Daftar isi
.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dakwah
Dan Pluralisme Masarakat ........................................................
B. Dakwah Dan Hubungan Antar Umat Beragama
.....................................
C. Dakwah
Berbasis Multikultural ...............................................................
D.
metode dakwah berbasis multikulturalisme
.............................................
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
....................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada
penghujung abad kedua puluh dan memasuki abad dua satu ini, timbul wacana baru
dalam pemikiran dakwah, sebagai respon terhadap perubahan-perubahan besar yang
terjadi, misalnya pergeseran pola pemikiran dari modern ke paska modern.
(Banting. 2006: 18). Paradigama baru dakwah ini, dilatarbelakangi terutama oleh
dua fenomena baru paska modern, yakni globalisasi dan perkembangan politik
praktis. (Southphommanase, 2005:401).
Baik
fenomena globalisasi, maupun perkembangan politik praktis di dunia belakangan
ini, masing-masing menghadapkan persoalan dakwah kontemporer kepada bentuk
masyarakat majemuk multi budaya dan multi etno-religius. (Squires. 2002: 114).
Dari
sudut persoalan globalisasi, dakwah dihadapkan kepadan persoalan tentang
bagaimana caranya menyampaikan pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat
global yang ditandai dengan makin sempitnya sekat-sekat antar kultur dan sekat
masyarakat etnoreligius.
(Effendy.
2001: 5).
Persoalan-persoalan dunia saat ini
tidak lagi bersifat lokal, dan karenanya tidak lagi menjadi tanggung jawab
komunitas tertentu. Lebih dari itu, persoalan-persoalan itu kini mengglobal,
menjadi persoalan umat manusia secara umum, dan karenanya menjadi tanggung jawab
bersama. (Ibid: hal. 119). Penyelesaiannya tidak mungkin secara independen,
tapi interdependensi yang menuntut keterlibatan aktif semua anggota masyarakat
dunia secara simultan. Keharusan mereka untuk terlibat dalam memecahkan
persoalan global, pada gilirannya tidak lagi mengizinkan suatu peradaban atau komunitas
mengisolasi diri dari peradaban atau komunitas lainnya. (Ibid, h. 4).
Basis pemikiran dakwah mulitkultural
sejatinya berangkat dari pandangan klasik dakwah kultural, yakni pengakuan
doktrinal Islam terhadap keabsahan eksistensi kultur dan kearifan lokal yang
tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Hanya saja, dakwah multikultural
berangkat lebih jauh dalam hal intensitas atau keluasan cakupan kulturnya.
Kalau dakwah paradigm kultural hanya berfokus pada persoalan bagaimana pesan
Islam dapat disampaikan lewat kompromi dengan budaya tertentu, maka dakwah
multikultural memikirkan bagaimana pesan Islam itu disampaikan dalam situasi
masyarakat yang plural, baik kultur maupun keyakinannya, tanpa melibatkan unsur
“monisme moral” yang bias merusak pluralitas budaya dan keyakinan itu sendiri.
Pendekatan multikulturalisme mencoba melihat yang banyak itu sebagai keunikan
tersendiri dan tidak seharusnya dipaksa untuk disatukan, tetapi tetap berjalan
harmonis dalam keragaman. (Mulyana, 2003: 69). Intinya, pendekatan multikulturalisme
dalam dakwah berusaha untuk mencapai dua hal, yaitu titik temu dalam keragaman,
dan toleransi dalam perbedaan. Dakwah dengan pendekatan multikulturalisme
adalah sebuah pemikiran dakwah yang conrcern pada penyampaian
pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat plural dengan cara berdialog untuk
mencari titik temu atau kesepakatan terhadap hal-hal yang mungkin disepakati,
dan berbagi tempat untuk hal-hal yang tidak bisa disepakati. (Ibid, hal. 45).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dakwah
Dan Pluralisme Masarakat
Plarisme,1
bermakna kemajmukan. Bangsa indonesia adalah bangsa yang peluralistik, karna
terdiri dari berbagai suku, bahasa, etnis dan agama. Persepektip bahuwa
seolah-olah ajaran islam akan membawa masyarakat kepada kehidupan yang monolitik,
dan bahwa peluralitik, adalah persepsi yang keliru. Bukti paling jelas bahwa
anggapan tersebut tidak benar adalah pada waktu rasulullah SAW mendirikan
negara madinah pada tahun 622 M. Negara madinah yang didirikan oleh Nabi
muhammad SAW itu terdiri dari masyarakat yang pluralistik. Sehingga dengan
demikian diperlukan suatu perjanjian dengan suku-suku bangsa yang ada di kota
Madinah tersebut yang pda waktu itu agamanya berlainan.
Perjanjian
oleh Nabi Muhammad SAW dengan suku-suku bangsa yang berbeda keyakinan dan
agamanya itu menunjukkan bahwa sejak semula, agama isslam telah menunjukkan
watak menghormati pluralistik. Dan ajaran toleransi yang dikedepankan islam,
adalah bukti nyata bahwa Islam telah menghormati dan sekaligus mempraktikkan
toleransi itu dalam kehidupan masyarakat secara nyata.2
1 istilah pluralisme, kemajemukan, yang
digunakan dalam sossiologi moderen dan ilmu politik pada umumnya mengacu pada
tradisi demokrasi liberal barat, yaitu pluralisme group yaitu kelompok elite
yang saling berbagi kekuatan atau bersaing untuk memenangkan kekuatan secara
terus menerus. Dewasa ini ada kecendrungan umum bahwa pluralisme yang ideal
sebaiknya ‘’berkiblat’’ pada dunia barat khususnya amerika yang multi etnis,
budaya dan agama. Argumen ini pada dasarnya menunjukkan sikap infrerior
kompleks dari dunia ketiga pluralisme yang dirumuskan oleh para pemikir
amerika, khususnya James Madison (1751-1836), memang turut memberi andil besar
dalam menyuburkan kehidupan berdemokrasi di barat, khususnya di Amerika
Serikat. Akan tetapi, bukan berarti pluralisme ini tidak meninggalakan masalah.
Karena liberalisme dalam negara ini tidak di topang oleh nilai-nilai agama,
sehingga isu-isu moderen yang berkembang dalam masyarakat skuler hampir tidak
pernah mencapai harmoni, Lihat Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D, Menuju paradigma Islam Humanis,
Yogyakarta: Gama media 2003, hlm 42.
2 M. Dawam Rahardjo (Editor), Model Pembangunan Qaryah Thayibah, Jakarta:
Penerbit Intermasa, 1997, hal 78
Ajaran
islam pada dasarnya bersifa iksklusif. Karena islam adalah agama keterbukaan
dan siap berdampingan dengan paham-paham di luar islam.
Menurut
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A.,Ph.D bahwa ‘’Inklusifisme dalam wawancara
keagamaan semestinya bersifat ideologis, bukan sesuatu yang tektis-rekatif.
Definisi takwa misalnya, selama ini bagi komunitas beragama sering diceraikan dengan
aspek inklusivisme, yakni kesadaran akan keadaan Tuhan selama hidup dan dalam
waktu yang sama sekaligus kesadaaran akan adanya kelompok dan agama lain (The otherness) yang harus diterima
secara alamiah untuk hidup berdampingan dengan dunia (Feacifull coexistence). Pluralisme dalam segala bentuknya
merupakan sunnatullah dan sekaligus etika global. Dengan demikian, klompok yang
alergi dengan inklusivisme tidak saja berhadapan dengan mainsgtram religiosistas, tetapi juga tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Di sinilah perlunya pemberdayaan masyarakat indonesia yang religius
dan tanpa pagar atau dengan istilah lain Indonesia
without bordes.3
B.
Dakwah
Dan Hubungan Antar Umat Beragama
Dalam keadaan
masyarakat yang pluralis seperti indonesia, suatu strategi dakwah harus
dipersiapkan untuk mencapai keberhasilan dakwah islam.
Tugas
dakwah, pada dasarnya mengandung dua segi yaitu membina dan mempertahankan.
Pertama, membina mereka yang muslim dari sejak lahir
maupun yang baru masuk islam yaitu untuk keberhasilan dakwah islam.
Kedua, mempertahankan
islam dan umat islam dari mereka yang tidak senang melihat kemajuan dan bahkan
yang melihat islam sebagai rivalnya.
Seorang
juru dakwah diajarkan supaya memanggil semua orang kepada jalan ollah dengan
cara yang bijaksana, Aplkasi konsep bi
al-hikmah dalam suatu masyarakat yang terdiri dari pemeluk berbagai agama
seperti di Indonesia, adalah mutlak diperlukan.
1. Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D., op. Cip., hal 156
2. Dapat di lihat pada bab 24 kode etik
dakwah hal. 236
C.
Dakwah Berbasis Multikultural
Sebagai
paradigma baru dalam dakwah yang dihadapkan pada persoalan globalisasi dan
perkembangan politik praktis, maka dakwah berbasis multikulturalisme memiliki
ciri khas tersediri yang membedakannya dengan dakwah konvensional. Terkait
dengan ini, setidaknya dapat disebut empat ciri khas yang perlu diperkenalkan
jika ingin melakukan dakwah dengan pendekatan multikulturalisme.
Pertama,
mengakui dan menghargai keunikan dan keragaman etno-religio. Dalam pendekatan
multikulturalisme, keunikan masingmasing budaya atau keyakinan itu amat
dihormati dan dihargai, sehingga multikulturalisme berbeda sama sekali dengan relativisme
dan sinkretisme. Dalam multikulturalisme, keragaman budaya dan keyakinan itu
dinilai sebagai sebuah fakta dan bukan problem, karenanya ia harus diterima apa
adanya. (Ibid, hal. 96). Dalam perspektif multikulturalisme, orang boleh
menentukan satu dari banyak keyakinan untuk dirinya, tanpa perlu menilai bahwa
yang tidak dipilihnya itu lebih rendah nilainya dari keyakinan yang dipilih.
Sebaliknya, masing-masing keyakinan dan budaya itu harus dilihat sebagai yang
unik dan teman seperjalanan (fellow traveler). (Ujan, Op.Cit: 100).
Karena itu, multikulturalisme tidak berarti relativisme yang memiliki konotasi
menyamakan keyakinan atau budaya, dan bukan juga sinkretisme, yang berarti
mencampuradukan beberapa paham ideologi atau keyakinan. Multikulturalisme bukan
relativisme, yang berarti suatu paham yang menyamakan kebenaran-kebenaran
lokal, dan bukan pula sinkretisme yang berarti sinkretisme yang serupa dengan
relativisme, karena tidak memilih keyakinan atau budaya tertentu, karena
beranggapan bahwa semunya serba relatif, bisa diragukan, dan tidak bernilai.
Kedua, mengakui adanya titik
kesamaan dalam keragaman etnoreligio. Dalam pendekatan multikulturalisme,
diakui adanya titiktitik kesamaan antara pelbagai keyakinan dan kultur yang
beraneka ragam di samping juga tidak ditolak adanya aspek-aspek yang tidak
mungkin dikompromikan (uncompromiseable). Mengikuti alur berpikir
multikulturalisme, keanekaragaman budaya dan keyakinan itu tidak mengandaikan
suatu perbedaan yang tidak terjembatani. Perbedaan-perbedaan itu, terbentuk
oleh situasi dan konteks yang tidak terpatok mati dalam sejarah, melainkan
selalu berkembang. Karena itu, sesungguhya dalam keanekaragaman budaya dan
keyakinan selalu terdapat nilai-nilai bersama yang menjadi titik temu dalam
membangun relasi sosial. Sebut saja nilai-nilai seperti cinta, kebenaran,
penghargaan terhadap hidup, kesetiaan, integritas, kesamaan, tanggung jawab dan
keadilan, adalah titik temu dari semua budaya dan agama, dan bukan milik agama
dan budaya tertentu. (Ibid, h. 39).
Ali, Yusuf,
2009. The Meaning Of The Noble Qur’an, h. 71. Baca Juga
Mun’im Sirry, Berlomba-lombalah
Dalam Kebajikan: Tafsir 5: 48 Dan
Diskursus
Kontemporer Plurralisme Agama, dalam Elza Pedi Taher,
ed., Merayakan Kebebasan
Beragama, Kompas, Jakarta.
Maksudnya
semua nilai yang disebutkan itu dapat ditemukan dalam semua budaya dan agama.
Namun demikian, multikulturalisme juga mengakui adanya disensus dalam hal-hal
yang sifatnya privat dan tidak bisa dikompromikan. Contohnya seperti
detail-detail keyakinan dan ritualnya. Terhadap yang terakhir ini, pendekatan
multikulturalisme berkepentingan untuk melakukan pengelolaan (manajemen
konflik) terhadap perbedaan-perbedaan dan belajar hidup di dalamnya.
Perbedaan-perbedaan itu harus diakui dan dihargai tanpa perlu menjadikannya
sebagai gangguan atau lawan dari keharmonisan. (Ibid, h. 98).
Ketiga,
paradigma fenomena keberagamaan sebagai kultur. Pendekatan multikulturalisme
mencoba memahami tingkah laku umat beragama sebagai sebuah fenomena kultur.
Benar bahwa agama itu tidak bisa disamakan begitu saja dengan kebudayaan. Agama
bersumber dari yang suci (ilahiyyah) dan sifatnya imutable dan ahistoris,
sedangkan budaya sumbernya adalah akal manusia dan tidak bersifat suci dan
menyejarah. Namun demikian, apa yang dinilai sebagai ilahi dan suci, tidak
mungkin dipahami kecuali lewat yang manusiawi,duniawi (profane), dan menyejarah
atau lewat mediasi budaya. Faktanya tidak ada agama yang bebas budaya, dan
semenjak kelahirannya, budaya dan agama selalu saling mempengaruhi. (Ibid, h.
115). Melalui pola pikir ini, pendekatan multikulturalisme berusaha memahami
dan mengakomodir perbedaan-perbedaan keyakinan tersebut dalam konsep dan
bingkai budaya yang mendukung adanya tolerasni (tasmauh), harmoni
social, dan kerjasama untuk kebaikn dan takwa (al-ta`awun `ala al-birr wa
al-taqwa).
Keempat,
kemestian progresivisme dan dinamisme dalam memahami agama. Karena yang dilihat
melalui pendekatan multikulturalisme adalah tingkah laku beragama sebagai
sebuah kultur, dan bukan agama itu sendiri, maka pola pikir ini mengandaikan
tak adanya “pensakralan” dalam wujud setiap kebudayaan agama. Setiap kebudayaan
agama (religio cultural), begitu multikulturalisme, pada dasarnya berwatak
“dinamis-progesif, yang bermakna bahwa setiap kebudayaan agama itu adalah suatu
proses yang tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, sejalan dengan pemahama
dan penghayatan tentang agama itu sendiri, serta interaksi para penganut agama
dengan sesamanya, dan seiring dengan dinamika dan perkembangan zaman dalam
dimensi ruang dan waktudunia. Karena itu, walaupun esesni agama itu suci dan
bersumber dari “yang suci”, tapi wujud empiriknya yang ditunjukkan melalui
perilaku umat beragama adalah tidak suci dalam arti mutlak benar.
Sachedina, Abdul
Aziz, 2001. The Islamic Roots of Democratic Pluralism,
Newyork: Oxford
University Press.
Squires, Judith,
2002. Cultur, Equality and Diversity, In Paul Kelly, ed.,
Multikulturalism reconsidered,
Cambridge: Polity Press.
Perilaku
keberagamaan sejatinya merupakan konstruksi-kontekstual, yang selalu berkembang
sejalan dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Pola pikir
multikulturalisme menolak pandangan “esensialisme ekslusif”, yang berpendapat
bahwa pemahaman agama bersifat tetap, stabil dan tidak berubah, sehingga mereka
yang memiliki paham berbeda, dipandang dan dihukumi sebagai kelompok sesat dan
menyesatkan (ahl al-bida` wa al-ziyagh). Sikap dan paham yang
memutlakkan diri ini, tentu tidak sejalan dengan semangat keragaman yang
diusung multikulturalisme. (Ibid, h. 17).
Sebagai
pola pikir yang relative baru, paham multikulturalisme menimbulkan pro dan
kontra di tengah-tengah masyarakat muslim. (Misrawi. 2007: 215).
Kelompok
yang kontra, tentu melihat paham ini sebagai paham sesat dan merupakan “projek”
Barat untuk melemahkan Islam. Sementara kelompok yang pro mencoba melihat segi-segi
positif multikulutralissme, terutama bila dikaitkan dengan pluralitas
etno-religio bangsa ini. Untuk keperluan ini, mereka tidak sulit untuk mencari
akar-akar paham ini dari sumber-sumber utama Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an
dan al-Sunnah, seperti di bawaah ini:
Pertama, ditilik dari segi semantik,
multikulturalisme yang secara leteral bermakna paham tentang keragaman budaya,
maka dalam hal ini al Qur’an sejak dini telah memberikan isyarat bahwa manusia
itu ditakdirkan Tuhan sebagai yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
(multietnis) agar mereka itu saling mengenal (li ta’ârafû). Keragaman
bangsa dan suku itu, mengandaikan ketiadaan keseragaman keyakinan dan budaya.
Karena itu, dalam ayat yang lain, al Qur’an menegaskan bahwa Tuhan tidak
berkehendak untuk menjadikan manusia ini sebagai yang homogen. Kemudian
dilanjutkan bahwa maksud dari ketentuan Tuhan menjadikan manusia sebagai multi
etnis dan religius itu adalah agar mereka saling berlomba-lomba mencari
kebaikan (fastabiq al khairât). (QS al Mâidah: 48). Dua kata kunci dari
keterangan al Qur’an di atas, yakni saling mengenal (lita’ârafû) dan
berlomba-lomba mengejar kebajikan (fastabiq al khairât), adalah dasar
dari sikap multikulturalisme tentang keragaman sebagai fakta di satu sisi, dan
kesetaraan kaum beriman dalam kedudukannya sebagai teman seperjalanan (fellow
traveler) di sisi lain. Artinya, bahwa keragaman budaya dan agama itu
adalah kenyataan sebagai wujud dari kehendak Tuhan yang tidak mungkin ditolak,
dan karenanya yang mungkin dilakukan manusia hanyalah konstruksi positif. Wujud
kongkrit dari konstruksi positif itu adalah berupa pencapaian prestasi budaya
yang bermanfaat bagi kualitas hidup manusia (istibâq al khairât),
dan itu hanya mungkin diwujudkan bila mana telah terjadi dialog antar budaya
dan keyakinan yang beragam (bi al ta’âruf).
Hodgson,
Marshal, 1974. The Venture Of Islam: Consience and History
in World a Civilization,
The Classical Age of Islam, University of
Chicago Press,
Chicago.
Huwaidi, Fahmi.
1999. Muwâtinûn lâ Zimmiyûn, Cet. Ketiga, Dar al
Syuruq, Kairo.
Kedua,
sebagai sebuah paham tentang keragaman, multikulturalisme sejatinya adalah
kelanjutan dari paham pluralisme. Sebagai kelanjutan pluralisme,
multikulturalisme berusaha untuk menegaskan –di samping mengembangkan
–pemikiran pluralisme yang antara lain mengakui adanya common platform antar
kebudayaan dan keyakinan yang beraneka ragam itu, sekaligus mengakui pula
adanya aspek-aspek yang tidak bisa dikompromikan. Dari sudut doktrin Islam,
pengakuan tentang common platform itu dilegitimasi melalui QS Âlu
‘Imran/3: 64 yang berbicara tentang ajakan kepada kelompok agama lain untuk
mencari benang merah atau titik kesamaan (kalimatun sawâ’) sebagai
landasan menjalin dialog dan kerjasama sosial. (Rachman, 2001: 16). Adapun
mengenai hal-hal yang tidak mungkin disepakati, maka al Qur’an mengajarkan
sikap toleransi (tasamuh) dan melihatnya sebagai yang unik. Ini
dilegitimasi melalui QS al Kâfirûn/109: 6 “…bagimu agamamu, dan bagiku
agamaku…”. Mengenai yang terakhir ini, sikap toleransi diketengahkan sebagai
bentuk pengakuan Islam atas keragaman keyakinan (dan juga budaya) yang tidak
perlu diselesaikan oleh manusia. Demikian itu arena ia adalah hak prerogeratif
Tuhan, dan Tuhan yang berjanji akan menyelesaikannya sendiri di akhirat nanti.
(QS. Al Hajj 59, QS Âlu ‘Imrân: 55, QS Al Mâidah: 48, QS Al An’am: 164).
Ketiga,
agama memang berasal dari Tuhan dan kesuciannya dipelihara oleh Tuhan sendiri (wa
innâ lahu lahâfizûn), namun pemahaman manusia akan agamanya itu tidak suci,
tapi berwatak historis dan berjalan dalam garis trial error menuju yang
ideal. Karena itu, al Qur’an mengajarkan untuk tidak sekali-kali memutlakan
sejarah, tetapi lebih kepada belajar apa yang kurang dari sejarah itu sendiri.
Firman Allah “…sungguh telah berlalu ketentuan-ketentuan Allah, maka
berjalanlah di muka bumi dan perhatikan kesudahan orang yang mendustakan…” QS
Âlu ‘Imrân/3: 137.
Keempat,
karena pemahaman agama manusia itu tidak memiliki sifat suci, maka ia terbuka
untuk dikritisi, didekonstruksi, dan diramu ulang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan kemanusiaan. (Rachman, 2010: 488). Terkait dengan ini, al Qur’an
mencela orangorang yang berpaham statis, tidak dinamis, atau mempertahankan
status quo dan menjuluki mereka dengan sebutan abawiyyun (orang yang
gemar mentaklid leluhur). Firman Allah “…dan jika dikatakan kepada mereka,
ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah, mereka berkata: tidak, kami mengikuti
apa yang kami dapati dari nenek moyang kami…” QS al Baqarah/2: 170.
D. metode dakwah
berbasis multikulturalisme
Dakwah
multikultural mengajukan program atau pendekatan dakwah seperti
berikut.
Judith Squires,
2002. Cultur, Equality and Diversity, In Paul Kelly, ed.,
Multikulturalism Reconsidered,
Polity Press, Cambridge
Knitter, Paul
F., 2008. One Earth Many Religion: Multifaith Dialouge and
Global
Responsibility, Alih Bahasa Nico. A. Likumahuwa, BPK
Gunung Mulia,
Jakarta
Misrawi, Zuhairi, 2007. Al
Qur’an Kitab Tolerans
Pertama,
berbeda dengan pemikiran dakwah konvensional
yang
menempatkan konversi iman sebagai bagian inti dari dakwah, pendekatan dakwah
multikultural menilai bahwa dakwah tidak lagi secara eksplisit dimaksudkan
untuk mengislamkan umat non muslim. Lebih dari itu, pendekatan dakwah
multikultural menekankan agar target dakwah lebih diarahkan pada pemberdayaan
kualitas umat dalam ranah internal, dan kerjasama serta dialog antar agama dan
budaya dalam ranah eksternal. Berbeda dengan pendekatan konvensional,
pendekatan dakwah multikultural, seperti dinyaatakan menilai fenomena konversi
non muslim menjadi muslim adalah efek samping dari tujuan dakwah, dan bukan
tujuan utama dari dakwah itu sendiri. Mengikuti pendekatan multikultural,
dakwah kontemporer tidak lagi beroreintasi pada aspek kuantitas, tapi lebih
kepada kualitas dalam wujud keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bagi kemanusiaan
sejagad. Keragaman budaya dan agama, adalah sunatullah yang tidak mungkin
dirubah atau diganti. Dengan kata lain, adalah suatu hal mustahil bercita-cita
menjadikan manusia ini menjadi satu umat, satu agama, dan satu budaya. Bahkan
anganangan tersebut justru bertentangan dengan kebijakan (police) Allah
sendiri yang tidak berkehendak untuk menjadikan manusia sebagai satu umat (QS.
Yunus/10: 99). Melalui pengakuan adanya kesepakatan atau titik temu antar
iman (common platform), maka dalam perspektif dakwah multikultural,
seperti berulangkali dikatakan Nurcholais madjid, bahwa mengajak orang kepada
Islam, tidak selalu identik dengan mengajak orang untuk beragama Islam.
(Madjid, Op.Cit: 19).
Kedua,
dalam ranah kebijakan publik dan politik, dakwah multikultural menggagas ide
tentang kesetaraan hak-hak warga negara (civil right), termasuk hak-hak
kelompok minoritas. (Rachman, Op.Cit: 674). Tujuan dari program dakwah ini,
terutama dimaksudkan agar seluruh kelompok etnis dan keyakinan mendapat
pengakuan legal dari negara dari satu aspek, dan bebasnya penindasan atas nama
dominasi mayoritas dari aspek yang lain. Untuk kepentingan ini pula, pendekatan
dakwah multikultural berusaha memberi dukungan moral dan legitimatif atas
budaya politik demokrasi. Demikian itu, karena budaya politik demokrasi –
terlepas dari kekuranganya –sampai saat ini dinilai sebagai yang paling
mengakomodir ide-ide egalitarianisme hak sipil dan kelompok minoritas dalam
masyarakat multikultural. (Ujan, Opcit: 43-45). Melalui budaya demokrasi ini,
dakwah multikultural berusaha agar kebijakan atau produk politik yang bias
etno-religius dapat dieliminasi dan digantikan dengan kebijkan-kebijakan
politik yang ramah dan peka terhadap keragaman etnis dan keyakinan masyarakat.
Ketiga,
dalam ranah sosial, dakwah multikultural memilih untuk mengambil pendekatan
kultural ketimbang harakah (salafi jahidy). Seperti telah
disinggung, bahwa pendekatan multikultural sejatinya merupakan kelanjutan dari
pendekatan dakwah kultural dengan perbedaan pada tingkat keragaman dan
pluralitasnya. Dalam masyarakat multikultural,
Rachman, Budhy
Munawar, 2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman,
Paramadina, Jakarta.
____, 2010. Reorientasi
Pembaharuan Islam, LSAF, Jakarta.
Rais, M.
Dhiauddin, 2001. Teori Politik Islam, Alih Bahasa Abdul Hayyi
al Kattanie dkk, Gema Insani Press,
Jakarta
sepanjang
terbebas dari kepentingan politik, keragaman keyakinan dan budaya itu
sesungguhnya merupakan fakta yang dapat diterima oleh semua pihak. Adapun
konflik yang sering terjadi antar keyakinan dan agama, sejatinya adalah efek
negatif dari perebutan kepentingan dalam ranah politik.\ (Mulkhan. Op.Cit:
195). Untuk tujuan ini, dakwah multikultural memang berbeda dan kurang sepaham
dengan pemikiran dakwah yang mengedepankan Islam sebagai manhaj hayah,
dan Islam sebagai din, dun-ya dan daulah, seperti digagas
dan dikedepankan oleh Sayyid Quthub dan tokoh-tokoh Ikhwan yang lain. (Rachman.
Op.Cit: 247). Demikian itu, karena kedua ide di atas berpotensi melahirkan
radikalisme agama yang ekslusivistik, dan dinilai tidak sejalan dengan
perkembangan masyarakat global-multikultural yang inklusif dan plural.
Berlawanan dengan di atas, dakwah multikultural memilih pendekatan kultural
yang mengedepankan strategi sosialisasi Islam sebagai bagian integral umat, dan
bukan sesuatu yang asing melalui pengembangan gagasan Islam sebagai sistem
moral (al islam huwa al nizham al akhlaqiyyah). (Mulkhan. Op.Cit: 225).
Keempat,
dalam konteks pergaulan global, dakwah multikultural menggagas ide dialog antar
budaya dan keyakinan (intercultur-faith understanding). Dalam merespon
fenomena globalisasi yang sedikit demi sedikit menghapus sekat-sekat antar
budaya dan agama sekarang ini, dakwah multikultural, seperti diusulkan Mulkan, merasa
perlu membangun “etika global” yang digali dari sumber etika kemanusiaan
universal yang terdapat dalam seluruh ajaran agama. (Ibid: 45). Untuk tujuan
tersebut, pendekatan dakwah multikultural memulai agendanya, antara lain,
dengan menafsir ulang sejumlah teks-teks keagamaan yang bias ekslusivisme,
misalnya, dengan metode hermeneutika. (Rachman. Op.Cit: 508).
Kelima,
terkait dengan program seperti tersebut dalam point keempat, para pengggas
dakwah multikultural, merasa perlu untuk menyegarkan kembali pemahaman
doktrin-doktrin Islam klasik,
dengan
cara melakukan reinterpretasi dan rekontruksi paham Islam, sesuai dengan
perkembangan masyarakat global-multikultural. Seperti telah disinggung,
doktrin-doktrin Islam klasik seperti terkodifikasi dalam kitab-kitab yang
sampai kepada kita sekarang ini, adalah sebuah penafsiran Islam, dan bukan
Islam itu sendiri. Karena itu, ia tidak tertutup, tetapi terbuka untuk
dikritisi dan ditafsir ulang. Penafsiran baru ajaran Islam itu harus berimbang,
berpijak dari orisinalitas tradisi di satu pihak, tapi harus tetap terbuka
kepada ideide perkembangan keilmuan kontemporer di lain pihak. (Madjid. Op.Cit:
485). Dengan ungkapan lain, penafsiran itu memang harus terbuka (open minded),
tapi juga tidak kehilangan arah, akar, dan tetap mencerminkan identitas
keislaman dengan pijakan yang kuat (al hujjah al balighah) berdasarkan
al Qur’an dan Sunnah.
Ujan, Andre Ata.
et.al., 2009. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama
dalam Perbedaan,
Indeks, Jakarta
Knitter, Paul
F., 2008. One Earth Many Religion: Multifaith Dialouge and
Global
Responsibility, Alih Bahasa Nico. A. Likumahuwa, BPK
Gunung Mulia, Jakarta
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Basis
pemikiran dakwah mulitkultural sejatinya berangkat dari pandangan klasik dakwah
kultural, yakni pengakuan doktrinal Islam terhadap keabsahan eksistensi kultur
dan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Hanya saja,
dakwah multikultural berangkat lebih jauh dalam hal intensitas atau keluasan
cakupan kulturnya. Kalau dakwah paradigm kultural hanya berfokus pada persoalan
bagaimana pesan Islam dapat disampaikan lewat kompromi dengan budaya tertentu,
maka dakwah multikultural memikirkan bagaimana pesan Islam itu disampaikan
dalam situasi masyarakat yang plural, baik kultur maupun keyakinannya, tanpa
melibatkan unsur “monisme moral” yang bias merusak pluralitas budaya dan
keyakinan itu sendiri. Pendekatan multikulturalisme
mencoba
melihat yang banyak itu sebagai keunikan tersendiri dan tidak seharusnya
dipaksa untuk disatukan, tetapi tetap berjalan harmonis dalam keragaman.
(Mulyana, 2003: 69). Intinya, pendekatan multikulturalisme dalam dakwah
berusaha untuk mencapai dua hal, yaitu titik temu dalam keragaman, dan
toleransi dalam perbedaan.
Dakwah dengan pendekatan
multikulturalisme adalah sebuah pemikiran dakwah yang conrcern pada
penyampaian pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat plural dengan cara
berdialog untuk mencari titik temu atau kesepakatan terhadap hal-hal yang
mungkin disepakati, dan berbagi tempat untuk hal-hal yang tidak bisa
disepakati. (Ibid, hal. 45).
Daftar
Pustaka
1.
Abdurrahman
Mas’ud, Prof, M.A., Ph. D. 2004. Menuju
Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gama Media
2.
Prof.
Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D., op.
Cip., hal 156
3.
Ujan,
Andre Ata. et.al., 2009. Multikulturalisme: Belajar Hidup
Bersama dalam Perbedaan, Indeks, Jakarta.
4.
Ali,
Yusuf, 2009. The Meaning Of The Noble Qur’an, h. 71. Baca JugaMun’im Sirry, Berlomba-lombalah
Dalam Kebajikan: Tafsir 5: 48 DanDiskursus Kontemporer Plurralisme Agama, dalam Elza Pedi Taher,
1.
ed.,
Merayakan Kebebasan Beragama,
Kompas, Jakarta.
2.
Paul
Edward Gottfried, 2002. Multikulturalism and
Politic of Guilt:
3.
Toward
a Secular Theocracy, University of Missoury Press,
Missoury
4.
US.
Rachman, Budhy Munawar, 2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman, Paramadina, Jakarta.
5.
____,
2010. Reorientasi Pembaharuan Islam, LSAF, Jakarta. Rais, M. Dhiauddin, 2001. Teori
Politik Islam, Alih Bahasa Abdul Hayyi al
Kattanie dkk, Gema Insani Press, Jakarta.
6.
Sachedina,
Abdul Aziz, 2001. The Islamic Roots of Democratic
Pluralism, Newyork: Oxford University
Press.
7.
Squires,
Judith, 2002. Cultur, Equality and Diversity, In Paul Kelly, ed., Multikulturalism
reconsidered, Cambridge: Polity Press.
8.
Tim
Southphommanase, 2005. Grounding Multikultural
Citizenship:
1.
From
Minority Right to Civic Pluralism,
dalam Journal Of Intercultural
Tidak ada komentar:
Posting Komentar